Kamis, 14 Juni 2012


GENESA BATUBARA


1.      TINJAUAN UMUM
Batubara yang mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak termasuk dalam kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan baker hidro-karbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen  dan terkena pengaruh P & T yang berlangsung lama sekali (hingga puluhan-ratusan juta tahun).

Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun, dimulai dari pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi  lignite, sub-bituminous, bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan (koalifikasi) dapat diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari zat pembakar (O2) dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi karbon tetap (fixed carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.

Sebagai contoh, pembagian kelas batubara menurut ASTM (American Society for Testing Material) memperlihatkan bahwa semakin tinggi kelas (rank) batubara, kandungan airnya  semakin rendah.
                                                              Kandungan Air :
Peat (gambut)                                           < 60 %
--------------------------------------------------------------------
Lignite                                                 30 – 40 %
Sub-bituminous                                   10 – 25 %
Bituminous                                            5 – 10 %
Antrasit                                                 1 -   3 %

Kelas atau rank disini mempunyai pengertian sebagai suatu tahapan dari suatu proses pembatubaraan (koalifikasi) yang telah dilaluinya. Perubahan rank ini dicirikan oleh perubahan : nilai kalori (calorific value), prosentase karbon tertambat (fix carbon), kandungan air (inherent moisture) dan kandungan zat terbang (volatile matter).

Salah satu contoh pembagian kelas (rank) batubara menurut ASTM dapat dilihat pada (Table 1.1)

Gambut meskipun dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan batubara, tidak digolongkan sebagai batubara. Gambut secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang menjadikan alasan, mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok batubara, yaitu pada gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P (pressure) & T (temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh beda dengan kayu, meskipun penampakan fisualnya  lebih mirip dengan batubara.

Batubara dan gambut dapat terbentuk pada lingkungan rawa dan berasal dari tetumbuhan rawa, dalam suatu cekungan-cekungan besar.
Tabel 1.   Penggolongan kelas batubara (ASTM)











































2.      BAGAIMANA BATUBARA TERBENTUK ?

Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang harus diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu dapat terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan dan proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara..

        Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia
Bumi yang kita tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid) panas yang diselimuti oleh suatu lapisan  padat yang lebih dingin, yang dikenal sebagai kerak atau lempeng bumi. Suatu massa cair yang panas akan selalu bergejolak, ditambah lagi dengan adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa, hingga dirasakan pengaruhnya sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan munculnya pergerakan, pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.

Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan lempeng itu, baik yang terbentuk di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang terjadi di Indonesia bagian timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang terkenal adalah tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera Hindia yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.




























Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung (jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan mélange akibat sesar naik, cekungan-cekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari model morfologi  yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungan-cekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar pegunungan dan cekungan busur belakang.


Gambar 2.  Model tektonik Indonesia bagian barat

Cekungan antar pegunungan jarang terjadi, kecuali bila ada sesar mendatar yang sangat besar, seperti yang membelah pulau Sumatera hingga bagian barat Myanmar, menghasilkan cekungan antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh endapan batubara yang terbentuk di cekungan antar pegunungan. Sebagai contoh, adalah penampang yang memotong Sumatera bagian tengah pada arah barat daya – timur laut (Gambar 3)

Di Jawa, endapan batubara terbatas pada daerah tepian cekungan busur muka.  Karena tidak dijumpai sesar mendatar yang cukup besar di Jawa, maka cekungan antar gunung yang mengandung batubara tidak berkembang. Sampai saat ini, belum ada penemuan batubara yang berarti di daerah cekungan bususr belakang di Jawa.

Cekungan busur belakang membentang mulai pesisir timur Sumatera dan utara Jawa hingga Kalimantan. Gambut dan batubara dengan deposit yang besar banyak ditemukan di cekungan ini. Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan busur belakang, demikian pula gambut dan batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di cekunagn busur belakang.































Gambar 3.  Penampang Barat Daya- Timur Laut memotong Sumatera Bagian Tengah


        Proses dan Tahapan Pembentukan Batubara

                        Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :

Batubara dapat terbentuk setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :
  1. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
  2. Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
  3. Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter)  :
§  Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan dasar rawa.
§  Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro organisme dalam lingkungan bebas oksigen).
  1. Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter) :
§  Proses-proses geotektonik
§  Terjadi fase geokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh proses-proses alam yang terjadi di dalam bumi.



                        Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara :

Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut sebagai tahap geokimia (Gambar 4.)



Tahap Diagenesa
 


Gambar 4.  Tahapan pembentukan batubara

                                    Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)

Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air  sangat minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.

Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai tanaman menjadi gel.

Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).

                                    Fase Metamorfosa (Geokimia)

Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan tetapi yang berperan adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,  ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter, mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik, ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin tinggi.

Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.

2.2.3.  Tipe Pengendapan Batubara

Ditinjau dari mekanisme atau tipe pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara maupun pengendapan batubara, dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ atau autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.

Batubara jenis in-situ atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari sedimentasi gambut dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar berasal dari rawa gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut, yang kemudian oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara terbentuk (Gambar 5).

Batubara jenis drift atau allochthonous adalah lapisan batubara yang terbentuk dari hasil pelapukan, erosi, transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan batubara yang sudah terbentuk sebelumnya. Suatu seam batubara yang tersingkap (exposed) kemungkinan dapat lapuk (pecah-pecah/hancur) yang memungkinkan tererosi dan tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali batubara ini dapat menghasilkan lapisan batubara yang baru (Gambar 5).



Gambar 5.  Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe drift

2.3. Model-Model Endapan/Lapisan (Seam) Batubara

Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling dengan batuan sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan batubara ini (biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .

Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya (stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).

2.3.1.   Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)

Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi (patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau berselangseling) dan terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.

2.3.1.1.  Lapisan atau Seam Batubara yang Tebal

Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus. Apabila kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan terbentuk seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai keseimbangan biotektonik.

2.3.1.2.  Lapisan atau Seam Batubara yang Tipis

Lapisan (seam) batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut, rawa terus mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.

Perubahan ekosistem dan iklim yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering) diperkirakan juga menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.

2.3.1.3.  Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain

Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti yang sering dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan lempung atau pasir pada suatu seam batubara.
Pembentukan lapisan gambut pada suatu rawa gambut (moor), dapat tererosi dan terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada peristiwa meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-bentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir (Gambar 6).


Gambar 6 .  Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada suatu seam batubara.
2.3.1.4.  Batubara yang Berlapis-Lapis atau Terkadang dengan Batugamping

Batubara yang berlapis-lapis, diperkirakan terjadi karena terputusnya proses penggambutan akibat beberapa hal, seperti penurunan dasar rawa yang terlalu cepat, sehingga dapat mengubah ekosistem rawa secara ekstrim.

Penurunan dasar rawa yang lebih cepat dari wilayah sekitarnya, mengakibatkan daerah tersebut lebih rendah, sehingga air dan sedimen-sedimen asing cenderung masuk ke daerah ini, membawa lempung dan pasir. Masuknya aliran air dan sedimen asing akan mempengaruhi ekosistem dan biokimia rawa, menyebabkan mikroorganisme pembentuk humin (gel dan gambut) mati.

Penurunan dasar rawa dekat pantai yang terlalu cepat dapat menyebabkan air laut masuk ke rawa (transgression), menyebabkan ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem laut. Perubahan ekosistem ini dapat menghasilkan terbentuknya lapisan-lapisan batu gamping diantara lapisan-lapisan batubara. Apabila ekosistem ini berubah kembali ke ekosistem rawa karena terjadinya kemunduran laut (regression), proses penggambutan dapat terjadi lagi, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan lapisan batubara lagi, berselang-seling dengan lapisan batugamping dan sedimen lain.

2.3.1.5.  Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila ditempat dimana proses penggambutan terjadi, terdapat suatu kulminasi (puncak/punggungan di dasar rawa), sehingga lapisan batubara yang terbentuk seperti terpotong oleh semacam “intrusi” (Gambar  7).


Gambar 7.   Bentuk buried hill





2.3.2.   Model atau Pola Akibat Struktur Geologi (Structural  Pattern)

Model atau pola ini terjadi akibat struktur geologi yang berkembang selama proses penggambutan maupun pembatubaraan. Struktur geologi yang mempengaruhi antara lain adanya perlipatan (fold), patahan/pensesaran (fault), subsidence, dll.

2.3.2.1.      Bentuk Lapisan (Seam) Bercabang

Percabangan pada batubara dapat terjadi manakala pada saat proses penggambutan (dimana pada tahap ini lapisan yang terbentuk masih dianggap plastis), terjadi penurunan dasar rawa setempat-setempat (tidak merata secara luas). Akibatnya ada sebagian lapisan gambut yang tertarik melengkung ke bawah (Gambar 8).


Gambar 8.  Tahapan terjadinya percabangan pada lapisan batubara

Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih cepat daripada di tempat lain) ini mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan terisi oleh aliran air baru yang membawa sedimen asing (pasir atau lempung), sehingga proses penggambutan di cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar rawa yang terisi sedimen asing ini sudah seimbang dengan dasar rawa di sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi, sehingga memungkinkan proses-proses penggambutan dapat terjadi lagi.

2.3.2.2.      Bentuk Clay Vein (Urat Lempung)

Bentuk ini terjadi apabila diantara dua bagian deposit batubara terdapat urat lempung. Bentuk ini terjadi apabila dalam proses penggambutan atau  pembatubaraan mengalami patahan (jenis patahan geser/mendatar, atau patahan normal), kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung atau pasir (Gambar 9).


Gambar 9.  Model clay vein pada lapisan batubara

2.3.2.3.      Bentuk Fault (Patah)

Bentuk ini terjadi dari lapisan batubara yang mengalami beberapa tahap patahan. Patahan umumnya terjadi setelah lapisan batubara terbentuk, dengan bidang patahan relatif tidak terbuka, sehingga tidak memunculkan urat lempung (Gambar 10)

2.3.2.4.      Bentuk Fold  (Melipat)

Bentuk melipat terjadi bilamana lapisan batuan mengalami perlipatan akibat gaya-gaya yang bekerja (Gambar 11)

2.3.2.5.      Bentuk Horse Back (Punggung Kuda)

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung ke arah akibat gaya kompresi. Ketebalan kea rah lateral lapisan batubara kemungkinana sama atau lebih kecil atau menipis (Gambar 12).

2.3.2.6.      Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misal batu lempung, sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batu pasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur (Gambar 13).


Gambar 10.   Salah satu bentuk endapan batubara yang terjadi karena adanya patahan


Gambar 11.   Bentuk endapan batubara yang terjadi karena perlipatan



Gambar 12  Endapan batubara bentuk horse back

Jumat, 08 Juni 2012



HIDROGEOLOGI

           


      Sistem penambangan yang banyak digunakan saat ini ada tiga macam, yaitu sistem tambang terbuka, tambang bawah tanah, dan tambang bawah laut. Pemilihan metode penambangan ini didasarkan pada kondisi Topografi, Geologi, Endapan Bahan Galian dan nilai Ekonominya. Sistem penambangan yang digunakan di Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sistem tambang terbuka dengan metode Quarry. Hal ini dipilih karena kondisi bahan galian yang letaknya didekat permukaan tanah sehingga sangat efektif jika menggunakan tambang terbuka.
Sistem tambang terbuka pada akhir penambangan akan menghasilkan lubang bukaan penambangan, sehingga selama kegiatan penambangan akan menghadapi kendala air terutama air hujan. Di daerah ini terdapat air tanah yang sangat sedikit, sehingga bisa air tanah tidak mempengaruhi kegiatan tambang secara signifikan. Oleh karena itu perlu dibuat rancangan penyaliran air tambang untuk mengatasi masalah air yang berasal dari air hujan.
            Salah satu ciri utama tambang terbuka adalah adanya pengaruh iklim pada kegiatan penambangan. Elemen-elemen iklim tersebut antara lain hujan, panas/temperatur,tekanan udara dan lain-lain yang dapat mempengaruhi kondisi tempat kerja, yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas tambang. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya kajian hidrogeologi.
      Agar dalam melakukan kajian hidrogeologi dapat berjalan lancar dan tepat sasaran, diperlukan kerangka kajian. Kerangka kajian ini sebagai acuan pelaksanaan kajian di lapangan, terutama cakupan materi, data-data yang harus diambil, urutan dan kaitan masing-masing aspek kajian serta hasil yang diperoleh. Secara ringkas kerangka kajian mencakup :
1.      Kajian Hidrologi
2.      Kajian Hidrogeologi
3.      Pengendalian Air tambang
4.      Perhitungan dimensi saluran terbuka
5.      Rancangan kolam pengendapan
Diagram alir kerangka kajian hidrogeologi dapat dilihat di halaman berikut :

Gambar 5.1
Kerangka Kajian Hidrogeologi Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta


5.1              Kajian Hidrologi
Pada umumnya proses – proses yang berkaitan dengan siklus air merupakan hal yang periodik terhadap ruang dan waktu, yang tergantung pada pergerakan bumi terhadap matahari dan rotasi bumi pada porosnya.
5.1.1.      Siklus Hidrologi dan Neraca Air
Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 Milyard km3 air : 97,5 % adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah.
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian yang lain merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali segera ke sungai-sungai (disebut aliran intra=interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka Waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air tanah).
Jadi, sungai itu mengumpulkan 3 jenis limpasan, yakni limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff) yang akhirnya akan mengalir ke laut. Singkatnya ialah : uap dari laut dihembus ke atas daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai presipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung ke sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju yang jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan. Bagian yang lain mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.
Sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (hydrological cycle). Sirkulasi air ini dipengaruhi oleh kondisi meteorology (suhu, tekanan, atmosfer, angin, dan lain-lain) dan kondisi topografi; kondisi meteorologi adalah faktor-faktor yang menentukan.
Gambar 5.2
Siklus Hidrologi
Dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai hubungan antara aliran kedalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu disebut neraca air (water balance)
Umumnya, terdapat Hubungan keseimbangan sebagai berikut :
P = D + E + G + M
Keterangan :
P = Presipitasi                                    
D = Debit
E = Evapotransportasi                                   
G = Penambahan (supply) air tanah
M = Penambahan kadar kelembaman tanah (moisture content)



5.1.2.      Kondisi Hidrologi Daerah Penyelidikan
Daerah penelitian di Desa Karangsari, Kecamatan Semin,Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hujan tropis yang ditandai dengan adanya pergantian dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai dengan bulan Mei dengan curah hujan rata-rata berkisar 61,5 – 421 mm/bulan dan musim kemarau dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 0 mm – 54,75 mm/bulan. Temperatur udara berkisar antara 36C - 43C. Curah hujan rata-rata per tahun yaitu 1317,25mm. Jumlah hari hujan rata-rata per tahun hanya 80 hari/tahun. Curah hujan harian maksimum adalah 87,0 mm/hari.
5.1.3.      Curah Hujan
Curah hujan akan menunjukkan suatu kecenderungan pengulangan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam analisis curah hujan dikenal istilah periode periode ulang hujan(return of period), yang berarti kemungkinan periode terulangnya suatu tingkat curah hujan tertentu. Satuan periode ulang adalah tahun.
Dalam perancangan suatu bangunan air atau dalam hal ini adalah sarana penyaliran tambang, salah satu kriteria perancangan adalah hujan rencana, yaitu curah hujan dengan periode tertentu atau curah hujan yang memiliki kemungkinan akan terjadi sekali dalam suatu jangka waktu tertentu. Data curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan hujan merupakan data dapat digunakan secara langsung untuk perhitungan dalam analisis curah hujan, dan dapat juga diolah terlebih dahulu dengan menggunakan metode statistik.









Tabel 5.1 Data Curah Hujan Tahunan
Tahun
Curah Hujan (mm)
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Total
2003
126
361
166
6
63
0
0
0
0
0
162
363
1247
2004
138
364
136
15
74
9
17
0
0
8
83
252
1096
2005
257
142
77
62
0
73
23
0
0
48
231
495
1408
2006
325
198
335
194
66
0
0
0
0
0
16
227
1361
2007
99
201
334
186
47
35
0
2
0
7
103
723
1737
2008
568
394
353,8
125
0
0
0
0
0
104
677
257,8
2480
2009
254
382
269
85,5
124
36
0
0
0
17
11,5
109
1288
Rata-2
252,43
291,71
238,69
96,21
53,43
21,86
5,71
0,29
0,00
26,29
183,36
346,68

Curah Hujan Rata-rata per Tahun
1517

Berikut adalah data curah hujan bulanan pada tahun 2009 di Desa Karangsari:
TGL.
BULAN
JAN
PEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SPT
OKT
NOP
DES
(   mm   )
1
0
6
5
5
11
0
0
0
0
0
2
15
2
0
3
0
20
14
0
0
0
0
0
0
26
3
0
0
4
5
1
0
0
0
0
0
8
29
4
5
0
16
11
18
0
0
0
0
0
0
33
5
0
0
1
10
3
0
0
0
0
0
1
0
6
0
19
15
10
11
0
0
0
0
0
0
0
7
0
20
4
1
0
0
0
0
0
0
1
0
8
6
1
10
25
14
0
0
0
0
0
0
0
9
2
87
0
10
0
0
0
0
0
0
0
22
10
6
5
21
10
6
0
0
0
0
0
6
30
11
0
0
1
10
2
0
0
0
0
0
0
0
12
0
12
0
0
0
0
0
0
0
0
7
23
13
0
4
3
13
0
0
0
0
0
0
0
0
14
42
2
1
2
0
0
0
0
0
0
0
0
15
0
15
25
10
0
0
0
0
0
0
0
17
16
12
47
1
11
0
0
0
0
0
0
0
33
17
0
0
5
10
0
0
0
0
0
0
0
14
18
0
5
0
11
0
0
0
0
0
0
5
12
19
0
0
1
2
0
0
0
0
0
0
2
93
20
3
14
4
11
0
0
0
0
0
0
0
0
21
7
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
22
2
1
1
38
0
0
0
0
0
0
7
0
23
25
6
3
2
0
0
0
0
0
0
0
28
24
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
5
4
25
7
6
41
2
13
0
0
0
0
0
8
3
26
9
0
10
12
12
0
0
0
0
0
0
30
27
0
5
0
10
0
0
0
0
0
0
6
10
28
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
29
12
1
7
0
12
0
0
0
0
0
12
15
30
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
31
1

1

3
0
0
0
0
0
 0,0
0
TOTAL
140
260
180
267
120
0
0
0
0
0
70
450
Sumber : Kecamatan Semin
Tabel 5.2
Data Curah Hujan bulanan Tahun 2008


5.1.4.      Analisa Data Curah Hujan
Perhitungan Intensitas curah hujan :
          
Keterangan :    I     = Intensitas curah hujan (mm/jam)
                        R24 = Curah Hujan harian maksimum (mm/hari)
                        t     =  Waktu = 1 jam
         
             mm/jam
Dengan Intesitas curah hujan sebesar 30,482 mm/jam, maka bisa disimpulkan bahwa keadaan hujan di Desa Karangsari merupakan hujan sangat lebat berdasarkan kriteria keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan pada table 5.3 berikut

Keadaan Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan (mm)
1 jam
24 Jam
Hujan sangat ringan
< 1
< 5
Hujan Ringan
1-5
5-20
Hujan Normal
5-10
20-50
Hujan Lebat
10-20
50-100
Hujan sangat lebat
> 20
> 100
Tabel 5.3
Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan

5.1.5.      Air Limpasan
Air limpasan (run off) adalah bagian curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau maupun laut (Asdak, 1995). Aliran tersebut terjadi karena air hujan yang mencapai permukaan tanah tidak terinfiltrasi akibat intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi atau faktor lain, seperti kemiringan lereng, bentuk dan kekompakan permukaan tanah serta vegetasi (Arsyad, 1989). Disamping itu, air hujan yang telah masuk ke dalam tanah kemudian keluar lagi ke permukaan tanah dan mengalir ke bagian yang lebih rendah (Sri Harto, 1985).
Daerah Gunung Kidul merupakan daerah karst yang banyak terdapat fracture, maka kapasitas infiltrasi daerah ini termasuk tinggi sehingga air hujan akan dapat langsung terinfiltrasi melalui bidang – bidang perlapisan, retakan – retakan, dan porositas sekunder, sehingga debit air limpasan dapat diasumsikan minimal.
5.1.6.      Debit Air Limpasan
Metode yang dianggap baik untuk menghitung debit air limpasan puncak (peak run off = Qp) adalah metode rasional (US Soil Conservation Service, 1973 dalam Asdak, 1995).
Qp = 0,278 C I A  (m3/detik)
Keterangan :
Qp   : debit puncak (m3/detik)
C   : koefisien air limpasan
I      : intensitas hujan (mm/jam)
A    : luas daerah DTH (km2)
Metode rasional berasumsi bahwa intensitas curah hujan merata di seluruh DAS (daerah aliran sungai) dengan lama hujan (durasi) sama dengan waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi adalah waktu perjalanan yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air larian.
Koefisien air limpasan adalah (run off) bilangan yang menunjukan perbandingan antara air limpasan dengan jumlah air hujan. Sedangkan koefisien regim sungai (KRS) merupakan koefisien perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dengan debit harian rata-rata minimum. Secara makro evaluasi terhadap DAS dapat dilakukan dengan menghitung nisbah (ratio) debit maksimum – minimum dari tahun ke tahun. Penentuan koefisien limpasan dalam rancangan penyaliran tambang umumnya menggunakan the catchment average volumetric run off coefficient. Faktor – factor yang berpengaruh antara lain : kondisi permukaan tanah, luas daerah tangkapan hujan, kondisi tanah penutup, dan lain-lain.
Debit air limpasan hasil perhitungan adalah sebesar 0,3276m3/detik

5.2              Morfologi
5.2.1    Morfologi Daerah Wonosari
Daerah penambangan merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 360 m di atas permukan air laut.Geomorfologi yang dapat ditemukan pada kawasan Formasi Wonosari yakni lembah, gua berstalaktit dan stalagmite, sungai bawah tanah, doline, dan uvala. Ciri perbukitan pada kawasan tersebut yakni lereng terjal, berbatu, dan memiliki kemiringan 15%, berbentuk kerucut, puncak membulat, dan lapisan tanah penutup yang tipis.
5.2.2    Daerah Tangkapan Hujan
            Daerah tangkapan hujan merupakan suatu luasan daerah dimana air cenderung mengumpul dan menuju ke tempat tertentu. Daerah tangkapan hujan ini mempengaruhi jumlah air limpasan yang mengalir pada suatu area tambang. Daerah tangkapan hujan ini dipengaruhi oleh keadaan topografi suatu daerah, apakah itu bukit atau dataran. Untuk daerah penyelidikan di Dusun Wonosari, Desa Jurangjero daerah tangkapan hujan ini bisa dilihat dan ditentukan dari arah kemiringan lereng dimana air mengarah ke dasar lereng atau sungai, sehingga untuk jenjang tambang yang didasar lereng perlu memperhatikan air limpasan yang mengalir di jenjang tersebut dan daerah-daerah lain yang dearah tangkapan hujannya menyentuh jenjang tambang.
Kondisi daerah penambangan (mine area) di Wonosari yang akan dibuka umumnya merupakan kawasan yang berpotensi sebagai daerah tangkapan hujan. Luas Daerah Tangkapan Hujan Di Desa Wonosari sebesar 48.324,1292 m2

5.3              Kajian Hidrogeologi
5.3.1    Geologi Daerah Penyelidikan
Berdasarkan ciri batuan yang terdapat di daerah penyelidikan, batuan dapat dikelompokkan menjadi batuan Pra – tersier dan batuan Tersier. Daerah Gunung Kidul memiliki jenis batuan yang sangat variatif mulai dari jenis batuan dengan umur tersier; adalah sekis, filit, marmer, kuarsit, dan sabak yang berumur pra – tersier. Diatasnya dijumpai kelompok jiwo yang terdiri dari Formasi Wungkal serta formasi batugamping dengan litologi konglomerat, batu pasir, gamping foraminifera dan napal, secara tidak selaras diatasnya dijumpai Formasi Kebo – Butak, dimana Formasi Kebo terdiri dari serpih, batu pasir dan algomerat sementara pada formasi butak terdapat Formasi Semilir yang terdiri dari breksi tufa pumis asam berumur meiosen awal. Formasi Wonosari tersusun dari batugamping berlapis, batugamping massif, dan batugamping terumbu. Ciri fisik yang spesifik pada formasi ini adalah porositas sekunder berupa rongga – rongga yang terbentuk dari hasil pelarutan  mineral – mineral kalsit maupun dolomit. Formasi ini kadang kadang menunjukkan hubungan selaras di atas formasi Oyo.
5.3.2.   Kajian Kondisi Air tanah
Analisis kondisi air tanah di daerah penambangan didasarkan pada pengamatan langsung dilapangan dan peta hidrogeologi. Secara umum arah dan pola aliran air tanah didaerah penyelidikan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Arah dan pola aliran air tanah bebas sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi daerah penyelidikan.
2.  Arah dan pola aliran air tanah tertekan lebih ditentukan oleh kondisi tekanan 
     pisometrik daerah tersebut.         
Keberadaan air tanah pada operasi tambang terbuka telah menjadikan salah satu faktor batasan penting terhadap tingkat keberhasilan ekonomis awal dari suatu operasi penambangan. Semakin dalam kemajuan penambangan tambang terbuka maka tingkat permasalahan air tanah akan semakin sulit. Oleh karena itu perlu adanya sistem penyaliran yang baik. Penyaliran diperlukan sebagai penunjang kelancaran dalam kegiatan penambangan. Sistem penyaliran yang ada pada lokasi tambang terbuka dilaksanakan karena akumulasi air di dalam tambang yang harus dikeluarkan.
Penyaliran pada tambang terbuka umumnya dilakukan dengan cara Drainase, yang bertujuan untuk mencegah air agar tidak masuk ke dalam area tambang yaitu dengan membuat parit bila topografi di daerahnya memungkinkan dimana parit ini dibuat sebagai saluran mengeluarkan air dari tambang terbuka. Cara ini relatif murah dan ekonomis bila dibandingkan dengan sistem penyaliran menggunakan cara pemompaan air keluar tambang.
Pada Dusun wonosari terdapat sejumlah air tanah, dibuktikan dengan adanya sumur-sumur di pemukiman penduduk dengan kedalaman sekitar 10 – 12 m. Kondisi air tanah saat pengamatan cukup jernih, sehingga warga dusun Wonosari menggunakan air tanah ini untuk keperluan sehari-hari seperti untuk memasak, mandi, mencuci, dan sebagainya.
Namun, karena rencana penambangan PT Napalindo Enterprise berada di atas level muka air tanah, sehingga keberadaan air tanah tidak mengganggu kegiatan penambangan. Oleh karenanya dalam perhitungan jumlah air tambang, air tanah tidak ikut dihitung.

5.4       Pengendalian Air Tambang
Dalam setiap tambang, banyak atau sedikit selalu ada air yang mengalir masuk ke dalam tambang. Air ini masuk melalui batas perlapisan, celah – celah batuan ataupun patahan. Masuknya air kedalam tambang harus dicegah atau dikeluarkan agar tambang tidak terjadi genangan. Pencegahan masuknya air kedalam tambang dapat dilakukan dengan jalan membuat parit pada lereng – lereng bagian atas singkapan, kemudian mengalirkannya ke tempat lain keluar daerah penambangan. Pada tempat – tempat yang diperkirakan akan menjadi jalur masuknya air kedalam tambang, misalnya pada perpotongan antara aliran sungai dan singkapan.
Penyaliran pada system tambang terbuka umumnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.   Penyaliran tambang dengan pemompaan
Yaitu dengan mengeluarkan air tanah yang terdapat pada suatu jenjang. Air  tersebut selanjutnya dipompa keluar atau ke permukaan tambang menuju ke kolam pengendapan dan selanjutnya dikeluarkan ke sungai jika sudah memenuhi syarat tertentu. Penyaliran dengan pemompaan dapat dilakukan dengan sistem pemompaan langsung menggunakan pompa slurry  dan dengan sistem pemompaan tidak langsung berupa fasilitas pompa yang terpasang secara terpisah untuk memompa air bersih (tidak berlumpur), dimana air tambang yang terkumpul diendapkan terlebih dahulu untuk memisahkan air jernih dengan endapan lumpur pada suatu sumur pengendap (settler sump).
2.  Penyaliran tambang dengan paritan
Yaitu dengan membuat suatu peritan yang mengelilingi tambang untuk mencegah masuknya air dalam front kerja tambang untuk tambang terbuka. Air yang mengalir dengan sistem ini menggunakan gaya gravitasi untuk keluar ke permukaan.
Karena pada lokasi penelitian di Desa Wonosari air tanah tidak mempengaruhi kegiatan penambangan, maka sistem penyaliran yang ada hanya menggunakan paritan.
Pengendalian air tambang ini meliputi :
1. Perhitungan jumlah air tambang
2. Penentuan saluran terbuka
3. Penentuan kolam pengendapan.
Jumlah air tambang pada tambang terbuka adalah jumlah air limpasan dan jumlah air hujan yang langsung masuk ke dalam tambang.
5.4.1.      Perhitungan jumlah air yang masuk ke tambang
Adapun air yang masuk kedalam tambang ini dapat berasal dari
1.    Air Hujan yang langsung masuk ke bukaan tambang
          ket : CH harian max= 87 mm/ hari = 1,01x 10-6 m/detik                                                        A = 15.649,103 m2
Qp = 0,0158m3/detik
2.    Air limpasan
  ket : A = 0,04832 km2
m3/detik
3.    Jumlah air tambang     = Qp + Qmax
= 0,0158 m3/detik + 0,3276 m3/detik
= 0,3434 m3/detik

5.4.2.   Penentuan saluran terbuka
Masalah yang cukup penting dalam merancang sistim penyaliran tambang adalah penentuan dimensi saluran terbuka. Untuk itu, perhitungan dimensi saluran dilakukan dengan menggunakan rumus Manning :

Keterangan:   
Q =      Debit aliran (m3/detik)
            n  =      Koefisien kekasaran saluran
A =      luas penampang saluran (m2)
R =      jari – jari hidrolis (m)
S=       kemiringan dasar saluran (%)
Gambar 5.3
Penampang Saluran Terbuka
   Untuk saluran berbentuk trapesium dengan kemiringan sisi 600, digunakan   rumus :
                                                                
        
         A = (b + Zd).d
         = (1,155d+0,577d) x d = 1,73 .d2
         P  = b + {(1+Z2)0,5 – Z} =  3,455 d
                                 
Besarnya debit air tambang yang melewati saluran ini adalah 0,3434 m3/detik.
Dengan :
Q = Debit aliran air dalam saluran               (m3/detik)
R = Jari-jari hidrolik                         (m)
A = Luas penampang saluran                      (m2)
S = kemiringan                                             (0,35%)
n  = Koefisien kekasaran dinding saluran    (tetapan Manning)
Saluran untuk mengalirkan air tambang umumnya terdiri dari tanah maka koefisien kekasaran dinding saluran diperoleh nilai   n = 0,04.
            Berdasarkan data diatas, ukuran saluran untuk penyaliran air tambangadalah:
-          Debit air yang masuk saluran
Q1  = 0,3434m3/detik
-          Ukuran saluran
                         Q =  x R2/3 x S1/2 x A
      Kemiringan dasar saluran penyaliran air tambang umumnya adalah 0,35% = 0.0035 dengan n = 0.04
         0,3434    =  x (0,5 d)2/3 x (0,0035)1/2 x 1,73 d2
         0,3434    =  1,6119 d8/3
         d8/3          =  0,2130
         d             = 0,7829 m
         dan tinggi jagaan (d’) = 15% x d = 0,1174 m
         b             = 1,155 x 0,7829m
                        = 0,9042 m
         A           = 1,73 d2
                        = 1,0604 m2
         B               = b + 2 Z d
                        = 1,8077 m
         a             =  d/sin 600 = 0,904 m
5.5.      Penentuan Jumlah Pompa
Pada daerah penelitian di Desa Wonosari, kegiatan penambangan dilakukan diatas batas air tanah, sehingga penyaliran dengan menggunakan pompa tidak diperlukan.

5.6.      Kolam Pengendapan
Dalam merancang kolam pengendapan terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, antara lain ukuran dan bentuk butiran padatan, kecepatan aliran, persen padatan, dan sebagainya


5.6.1.   Ukuran partikel
   Luas kolam pengendapan secara analitis dapat dihitung berdasarkan parameter dan asumsi sebagai berikut :
-          Hukum Stokes berlaku bila persen padatan kurang dari 40%, dan untuk persen padatan lebih besar dari 40% berlaku hukum Newton.
-          Diameter partikel padatan tidak lebih dari 9 x 10-6 m, karena jika lebih besar akan diperoleh ukuran luas kolam yang tidak memadai.
-          Kekentalan air 1,31 x 10-6 kg/ms (Rijn, L.C. Van, 1985).
-          Partikel padatan dalam lumpur dari material yang sejenis.
-          Batasan ukuran partikel yang diperbolehkan keluar dari kolam pengendapan diketahui
-          Kecepatan pengendapan partikel dianggap sama.
-          Perbandingan cairan dan padatan telah ditentukan.
5.6.2.   Bentuk kolam pengendapan
Bentuk kolam pengendapan umumnya hanya digambarkan secara sederhana, berupa kolam berbentuk empat persegi panjang. Padahal, sebenarnya bentuk kolam pengendapan bermacam-macam tergantung dari kondisi lapangan dan keperluannya. Walaupun bentuknya bermacam-macam, setiap kolam pengendapan akan selalu mempunyai 4 zona penting yang terbentuk karena proses pengendapan material padatan (solid particle). Empat zona tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Zona masukan, tempat dimana air lumpur masuk ke dalam kolam pengendapan dengan asumsi campuran air dan padatan terdistribusi secara seragam. Zona ini panjangnya 0,5 – 1kali kedalaman kolam (Huisman, 1977).
2.      Zona pengendapan, tempat dimana partikel padatan (solid) akan mengendap. Panjang zona pengendapan adalah panjang kolam pengendapan dikurangi panjang zona masuk dan keluaran (Huisman, 1977)
3.      Zona endapan lumpur, tempat dimana partikel padatan dalam cairan (lumpur) mengalami pengendapan
4.      IMG_0011.jpgZona keluaran, tempat keluarnya buangan cairan yang jernih. Panjang zona ini kira-kira sama dengan kedalaman kolam pengendapan, diukur dari ujung lubang pengeluaran (Huisman, 1977).
















Gambar 5.4
Sketsa Kolam Pengendapan
Kolam pengendapan yang dibuat agar dapat berfungsi lebih efektif, harus memenuhi beberapa persyaratan teknis, seperti :
-          Sebaiknya bentuk kolam pengendapan dibuat berkelok-kelok (zig-zag), lihat Gambar 6.3 agar kecepatan aliran lumpur relatif rendah, sehingga partikel padatan cepat mengendap.
-          Geometri kolam pengendapan harus disesuaikan dengan ukuran Back hoe yang biasanya dipakai untuk melakukan perawatan kolam pengendapan, seperti mengeruk lumpur dalam kolam, memperbaiki tanggul kolam, dsb.
IMG_0011.jpg











Gambar 5.5
Bentuk Kolam Pengendapan yang Memenuhi Syarat Teknis

5.6.3.   Perhitungan Ukuran Kolam Pengendapan
Perhitungan ukuran kolam pengendapan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan hukum Stokes atau hukum Newton. Setelah dilakukan pengamatan, ternyata pada penelitian di Desa Wonosari, persen padatan kurang dari 40 % (sangat sedikit), sehingga pendekatan yang digunakan untuk perhitungan kolam pengendapan adalah pendekatan Hukum Stokes.
Perhitungan dengan pendekatan Hukum Stokes
Persen padatan kurang dari 40%.
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran di lapangan diketahui :
-          Jumlah air tambang (Qlumpur)                                 = 2132,514 ton/jam
-          Ukuran partikel yang keluar dari kolam (Ukur)    = 0,000125 m (pasir halus)
-          Kerapatan partikel padatan (ps)                            = 1725 kg/m3
-          Kekentalan air tambang (Vis)                               = 0,00000131 kgm-1s-1
-          Persen padatan (Sol)                                             = 0,25
-          Persen air (Air)                                                      = 0,75

Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka dapat dihitung :
- Berat padatan per m3                  = Sol x Qmat x 1000
                                                      = 0,25 x 2132,514 x 1000 = 533.128,5 kg
- Berat air per m3                           = Air x Qmat x 1000
                                                      = 0,75 x 2132,514 x 1000 kg
                                                      = 1.599.385,5 kg                                            
- Volume padatan per detik          =        m3s-1
       
= 0,214625 m3/s    
- Volume air per detik                   =         
= 1,1107 m3/s             
- Total volume per detik                = (0,1322 + 1,1107) m3/s
                                                            =1,325309375m3/s
- Kecepatan pengendapan =                           =                                                                         =  0,4708 m/s             
- Luas kolam pengendapan yang diperlukan =
                                                                       =    
                                                                        =2,8149 m2
Qmat
(t/jam)
Ps
(kg/m3)
Vis
(kg/ms)
Sol
(%)
Air
(%)
Ukuran
(m)
Vt
(m/s)
A
(m2)
2132,514
1725
1.31.10-6
25
75
1,25.10-4
8.10-5
6.10-5
0,4708
2,8149
0,1928
6,8725
0,1085
12,2178
Tabel 5.4
Ukuran Kolam Pengendapan Menurut Perhitungan Dengan Hukum Stokes
   Upaya penyaliran air yang dilakukan pada PT. Napalindo Enterprise adalah dengan membuat paritan kecil dengan lebar 90,42cm dan kedalamannya disesuaikan dengan debit air yang mengalir pada tambang tersebut.Pemilihan metode penyaliran dengan paritan dipilih karena lebih murah dibandingkan dengan metode pemompaan.