GENESA BATUBARA
1.
TINJAUAN UMUM
Batubara yang
mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak termasuk dalam
kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan baker
hidro-karbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam
lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh P & T yang berlangsung lama sekali (hingga
puluhan-ratusan juta tahun).
Proses pembentukan batubara
memakan waktu hingga puluhan juta tahun, dimulai dari pembentukan gambut (peat)
kemudian menjadi lignite,
sub-bituminous, bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan
(koalifikasi) dapat diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari
zat pembakar (O2) dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan
air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi karbon tetap (fixed
carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.
Sebagai contoh, pembagian kelas
batubara menurut ASTM (American Society for Testing Material)
memperlihatkan bahwa semakin tinggi kelas (rank) batubara, kandungan
airnya semakin rendah.
Kandungan Air :
Peat (gambut) < 60 %
--------------------------------------------------------------------
Lignite 30
– 40 %
Sub-bituminous 10 – 25 %
Bituminous 5 – 10 %
Antrasit
1 - 3 %
Kelas atau rank disini
mempunyai pengertian sebagai suatu tahapan dari suatu proses pembatubaraan
(koalifikasi) yang telah dilaluinya. Perubahan rank ini dicirikan oleh
perubahan : nilai kalori (calorific value), prosentase karbon tertambat
(fix carbon), kandungan air (inherent moisture) dan kandungan zat
terbang (volatile matter).
Salah satu contoh pembagian kelas
(rank) batubara menurut ASTM dapat dilihat pada (Table 1.1)
Gambut meskipun dalam banyak hal
mempunyai kesamaan dengan batubara, tidak digolongkan sebagai batubara. Gambut
secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu sedimen organik yang dapat
terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang
terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di bawah air), tidak padat,
kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang menjadikan alasan,
mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok batubara, yaitu pada
gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P (pressure)
& T (temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh
beda dengan kayu, meskipun penampakan fisualnya
lebih mirip dengan batubara.
Batubara dan gambut dapat
terbentuk pada lingkungan rawa dan berasal dari tetumbuhan rawa, dalam suatu
cekungan-cekungan besar.
Tabel 1. Penggolongan kelas batubara (ASTM)
2.
BAGAIMANA BATUBARA
TERBENTUK ?
Untuk mengetahui bagaimana
batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang harus diketahui, yaitu pertama;
lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu dapat terbentuk (lingkungan
pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan dan proses apa saja
yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan batubara, dari
mulai tanaman hingga menjadi batubara..
Tumbukan
Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan Cekungan Pengendapan Batubara
di Indonesia
Bumi yang kita
tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid) panas yang
diselimuti oleh suatu lapisan padat yang
lebih dingin, yang dikenal sebagai kerak atau lempeng bumi. Suatu massa cair
yang panas akan selalu bergejolak, ditambah lagi dengan adanya rotasi bumi
menghasilkan energi yang luar biasa, hingga dirasakan pengaruhnya sampai ke
kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan munculnya pergerakan,
pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.
Di Indonesia dan wilayah
sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan lempeng itu, baik yang terbentuk
di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang terjadi di Indonesia bagian
timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang terkenal adalah
tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera Hindia yang bergerak
dari selatan mendesak ke utara.
Akibat tumbukan itu menghasilkan
suatu morfologi yang khas, yaitu palung (jurang laut yang sempit dan dalam),
punggungan mélange akibat sesar naik, cekungan-cekungan, dan jajaran
gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang
terpenting dan terkait erat dengan pembentukan batubara adalah munculnya
cekungan-cekungan. Cekungan-cekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur
muka, cekungan antar pegunungan dan cekungan busur belakang.
Gambar 2. Model tektonik Indonesia bagian barat
Cekungan antar pegunungan jarang
terjadi, kecuali bila ada sesar mendatar yang sangat besar, seperti yang
membelah pulau Sumatera hingga bagian barat Myanmar, menghasilkan cekungan
antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh endapan batubara yang terbentuk
di cekungan antar pegunungan. Sebagai contoh, adalah penampang yang memotong
Sumatera bagian tengah pada arah barat daya – timur laut (Gambar 3)
Di Jawa, endapan batubara
terbatas pada daerah tepian cekungan busur muka. Karena tidak dijumpai sesar mendatar yang
cukup besar di Jawa, maka cekungan antar gunung yang mengandung batubara tidak
berkembang. Sampai saat ini, belum ada penemuan batubara yang berarti di daerah
cekungan bususr belakang di Jawa.
Cekungan busur belakang
membentang mulai pesisir timur Sumatera dan utara Jawa hingga Kalimantan.
Gambut dan batubara dengan deposit yang besar banyak ditemukan di cekungan ini.
Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan busur belakang, demikian pula gambut
dan batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di cekunagn busur belakang.
Gambar 3. Penampang Barat Daya- Timur Laut memotong
Sumatera Bagian Tengah
Proses
dan Tahapan Pembentukan Batubara
Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :
Batubara dapat terbentuk
setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :
- Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
- Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
- Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter) :
§
Terjadi keseimbangan biotektonik,
yaitu keseimbangan kecepatan sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau
gambut dengan penurunan dasar rawa.
§
Terjadi fase biokimia
(proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro organisme dalam lingkungan bebas
oksigen).
- Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter) :
§
Proses-proses geotektonik
§
Terjadi fase geokimia,
yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh proses-proses alam yang terjadi
di dalam bumi.
Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara
:
Tahapan dan Proses Pembentukan
Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase
diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau sering juga disebut
sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan
dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut sebagai tahap geokimia
(Gambar 4.)
|
Gambar 4. Tahapan pembentukan batubara
Tahap/Fase Diagenesa
(Biokimia)
Ekosistem rawa berbeda dengan
ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air dan tanahnya. Pada
lingkungan rawa, sirkulasi air sangat
minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan
minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan
sisa-sisa tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk
pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –bakteri aerob/suka oksigen). Pada
akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.
Bakteri anaerob mengurai tanaman
yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut
dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di lingkungan yang
bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air
tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan
lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai
tanaman menjadi gel.
Tahap selanjutnya, gel
atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen, mampat dan
memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga
akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang
dikenal sebagai gambut (peat).
Fase Metamorfosa
(Geokimia)
Pada fase ini, terjadi perubahan
yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan gambut menjadi batubara.
Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air,
hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile
matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan tetapi yang berperan
adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi,
seperti adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain
sebagainya.
Cekungan atau dasar rawa tempat
terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,
ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter,
mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga
sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan
hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah
prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin
tinggi kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi)
semakin baik, ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari
unsure C inilah kalori batubara dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam
batubara, maka nilai kalorinya semakin tinggi.
Peningkatan kelas (rank)
batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau hidrotermal.
Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu akan
mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat
lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.
2.2.3. Tipe Pengendapan Batubara
Ditinjau dari mekanisme atau tipe
pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara maupun pengendapan batubara, dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ
atau autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.
Batubara jenis in-situ
atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari sedimentasi gambut
dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar berasal dari rawa
gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut, yang kemudian
oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara terbentuk
(Gambar 5).
Batubara jenis drift atau allochthonous
adalah lapisan batubara yang terbentuk dari hasil pelapukan, erosi,
transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan batubara yang sudah
terbentuk sebelumnya. Suatu seam batubara yang tersingkap (exposed)
kemungkinan dapat lapuk (pecah-pecah/hancur) yang memungkinkan tererosi dan
tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali batubara ini dapat
menghasilkan lapisan batubara yang baru (Gambar 5).
Gambar 5. Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe
drift
2.3. Model-Model Endapan/Lapisan (Seam)
Batubara
Endapan batubara sering dijumpai
berlapis-lapis atau berselang-seling dengan batuan sedimen lain (clay stone,
sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan batubara ini (biasa disebut
seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang dijumpai pula
sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .
Pada dasarnya model atau pola (pattern)
endapan dan perlapisan pada batubara dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu
yang terjadi karena stratigrafinya (stratigraphic pattern) dan karena
pengaruh struktur geologi (structural pattern).
2.3.1.
Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic
Pattern)
Endapan batubara model ini
terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi (patahan, lipatan, dll.)
yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya erosi dan
ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan
yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau
berselangseling) dan terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.
2.3.1.1. Lapisan atau Seam Batubara yang
Tebal
Lapisan (seam) batubara
yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan lapisan gambut,
dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus. Apabila
kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut
sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel
atau gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan
terbentuk seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai
keseimbangan biotektonik.
2.3.1.2. Lapisan atau Seam Batubara yang
Tipis
Lapisan (seam) batubara
yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah
ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang mencukupi.
Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut, rawa terus
mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga
akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.
Perubahan ekosistem dan iklim
yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering) diperkirakan juga menjadi
penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi gambut, hingga
menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.
2.3.1.3. Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan
Sedimen Lain
Model lapisan batubara jenis ini
diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong lapisan-lapisan gambut
pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti yang sering
dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut
tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan lempung
atau pasir pada suatu seam batubara.
Pembentukan lapisan gambut pada
suatu rawa gambut (moor), dapat tererosi dan terpotong oleh aliran
sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat tersebut. Apabila
kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada peristiwa meander
sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat tertutup lagi
oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-bentuk
perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir
(Gambar 6).
Gambar 6 . Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir
atau batu lempung pada suatu seam batubara.
2.3.1.4. Batubara yang Berlapis-Lapis atau
Terkadang dengan Batugamping
Batubara yang berlapis-lapis,
diperkirakan terjadi karena terputusnya proses penggambutan akibat beberapa
hal, seperti penurunan dasar rawa yang terlalu cepat, sehingga dapat mengubah
ekosistem rawa secara ekstrim.
Penurunan dasar rawa yang lebih
cepat dari wilayah sekitarnya, mengakibatkan daerah tersebut lebih rendah,
sehingga air dan sedimen-sedimen asing cenderung masuk ke daerah ini, membawa
lempung dan pasir. Masuknya aliran air dan sedimen asing akan mempengaruhi
ekosistem dan biokimia rawa, menyebabkan mikroorganisme pembentuk humin (gel
dan gambut) mati.
Penurunan dasar rawa dekat pantai
yang terlalu cepat dapat menyebabkan air laut masuk ke rawa (transgression),
menyebabkan ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem laut. Perubahan ekosistem
ini dapat menghasilkan terbentuknya lapisan-lapisan batu gamping diantara
lapisan-lapisan batubara. Apabila ekosistem ini berubah kembali ke ekosistem
rawa karena terjadinya kemunduran laut (regression), proses penggambutan
dapat terjadi lagi, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan lapisan batubara
lagi, berselang-seling dengan lapisan batugamping dan sedimen lain.
2.3.1.5. Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila
ditempat dimana proses penggambutan terjadi, terdapat suatu kulminasi
(puncak/punggungan di dasar rawa), sehingga lapisan batubara yang terbentuk
seperti terpotong oleh semacam “intrusi” (Gambar 7).
Gambar 7. Bentuk buried hill
2.3.2.
Model atau Pola Akibat Struktur
Geologi (Structural Pattern)
Model atau pola ini terjadi akibat
struktur geologi yang berkembang selama proses penggambutan maupun
pembatubaraan. Struktur geologi yang mempengaruhi antara lain adanya perlipatan
(fold), patahan/pensesaran (fault), subsidence, dll.
2.3.2.1.
Bentuk Lapisan (Seam)
Bercabang
Percabangan pada batubara dapat
terjadi manakala pada saat proses penggambutan (dimana pada tahap ini lapisan
yang terbentuk masih dianggap plastis), terjadi penurunan dasar rawa
setempat-setempat (tidak merata secara luas). Akibatnya ada sebagian lapisan
gambut yang tertarik melengkung ke bawah (Gambar 8).
Gambar 8. Tahapan terjadinya percabangan pada lapisan
batubara
Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih
cepat daripada di tempat lain) ini mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan
terisi oleh aliran air baru yang membawa sedimen asing (pasir atau lempung),
sehingga proses penggambutan di cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar
rawa yang terisi sedimen asing ini sudah seimbang dengan dasar rawa di
sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi, sehingga memungkinkan proses-proses
penggambutan dapat terjadi lagi.
2.3.2.2.
Bentuk Clay Vein
(Urat Lempung)
Bentuk ini terjadi apabila
diantara dua bagian deposit batubara terdapat urat lempung. Bentuk ini terjadi
apabila dalam proses penggambutan atau
pembatubaraan mengalami patahan (jenis patahan geser/mendatar, atau
patahan normal), kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka
terisi oleh material lempung atau pasir (Gambar 9).
Gambar 9. Model clay vein pada lapisan batubara
2.3.2.3.
Bentuk Fault
(Patah)
Bentuk ini terjadi dari
lapisan batubara yang mengalami beberapa tahap patahan. Patahan umumnya terjadi
setelah lapisan batubara terbentuk, dengan bidang patahan relatif tidak
terbuka, sehingga tidak memunculkan urat lempung (Gambar 10)
2.3.2.4.
Bentuk Fold (Melipat)
Bentuk melipat terjadi bilamana
lapisan batuan mengalami perlipatan akibat gaya-gaya yang bekerja (Gambar 11)
2.3.2.5.
Bentuk Horse Back
(Punggung Kuda)
Bentuk ini dicirikan oleh
perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung ke arah akibat gaya
kompresi. Ketebalan kea rah lateral lapisan batubara kemungkinana sama atau
lebih kecil atau menipis (Gambar 12).
2.3.2.6.
Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh
perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan
batubara merupakan batuan yang plastis, misal batu lempung, sedang di atas
lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batu pasir yang secara lateral
merupakan pengisian suatu alur (Gambar 13).
Gambar
10. Salah satu bentuk endapan batubara
yang terjadi karena adanya patahan
Gambar
11. Bentuk endapan batubara yang
terjadi karena perlipatan
Gambar 12 Endapan batubara bentuk horse back