Kamis, 14 Juni 2012


GENESA BATUBARA


1.      TINJAUAN UMUM
Batubara yang mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak termasuk dalam kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan baker hidro-karbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen  dan terkena pengaruh P & T yang berlangsung lama sekali (hingga puluhan-ratusan juta tahun).

Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun, dimulai dari pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi  lignite, sub-bituminous, bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan (koalifikasi) dapat diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari zat pembakar (O2) dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi karbon tetap (fixed carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.

Sebagai contoh, pembagian kelas batubara menurut ASTM (American Society for Testing Material) memperlihatkan bahwa semakin tinggi kelas (rank) batubara, kandungan airnya  semakin rendah.
                                                              Kandungan Air :
Peat (gambut)                                           < 60 %
--------------------------------------------------------------------
Lignite                                                 30 – 40 %
Sub-bituminous                                   10 – 25 %
Bituminous                                            5 – 10 %
Antrasit                                                 1 -   3 %

Kelas atau rank disini mempunyai pengertian sebagai suatu tahapan dari suatu proses pembatubaraan (koalifikasi) yang telah dilaluinya. Perubahan rank ini dicirikan oleh perubahan : nilai kalori (calorific value), prosentase karbon tertambat (fix carbon), kandungan air (inherent moisture) dan kandungan zat terbang (volatile matter).

Salah satu contoh pembagian kelas (rank) batubara menurut ASTM dapat dilihat pada (Table 1.1)

Gambut meskipun dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan batubara, tidak digolongkan sebagai batubara. Gambut secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang menjadikan alasan, mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok batubara, yaitu pada gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P (pressure) & T (temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh beda dengan kayu, meskipun penampakan fisualnya  lebih mirip dengan batubara.

Batubara dan gambut dapat terbentuk pada lingkungan rawa dan berasal dari tetumbuhan rawa, dalam suatu cekungan-cekungan besar.
Tabel 1.   Penggolongan kelas batubara (ASTM)











































2.      BAGAIMANA BATUBARA TERBENTUK ?

Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang harus diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu dapat terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan dan proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara..

        Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia
Bumi yang kita tinggali, sebenarnya merupakan sebuah benda cair (liquid) panas yang diselimuti oleh suatu lapisan  padat yang lebih dingin, yang dikenal sebagai kerak atau lempeng bumi. Suatu massa cair yang panas akan selalu bergejolak, ditambah lagi dengan adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa, hingga dirasakan pengaruhnya sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan munculnya pergerakan, pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) bumi.

Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, tedapat beberapa lokasi tumbukan lempeng itu, baik yang terbentuk di sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang terjadi di Indonesia bagian timur (Gambar 1.) Salah satu dari tumbukan lempeng yang terkenal adalah tumbukan antara lempeng benua Asia dari utara dan lempeng samudera Hindia yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.




























Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung (jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan mélange akibat sesar naik, cekungan-cekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku (Gambar 2). Dari model morfologi  yang terbentuk akibat tumbukan ini, yang terpenting dan terkait erat dengan pembentukan batubara adalah munculnya cekungan-cekungan. Cekungan-cekungan ini dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar pegunungan dan cekungan busur belakang.


Gambar 2.  Model tektonik Indonesia bagian barat

Cekungan antar pegunungan jarang terjadi, kecuali bila ada sesar mendatar yang sangat besar, seperti yang membelah pulau Sumatera hingga bagian barat Myanmar, menghasilkan cekungan antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh endapan batubara yang terbentuk di cekungan antar pegunungan. Sebagai contoh, adalah penampang yang memotong Sumatera bagian tengah pada arah barat daya – timur laut (Gambar 3)

Di Jawa, endapan batubara terbatas pada daerah tepian cekungan busur muka.  Karena tidak dijumpai sesar mendatar yang cukup besar di Jawa, maka cekungan antar gunung yang mengandung batubara tidak berkembang. Sampai saat ini, belum ada penemuan batubara yang berarti di daerah cekungan bususr belakang di Jawa.

Cekungan busur belakang membentang mulai pesisir timur Sumatera dan utara Jawa hingga Kalimantan. Gambut dan batubara dengan deposit yang besar banyak ditemukan di cekungan ini. Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan busur belakang, demikian pula gambut dan batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di cekunagn busur belakang.































Gambar 3.  Penampang Barat Daya- Timur Laut memotong Sumatera Bagian Tengah


        Proses dan Tahapan Pembentukan Batubara

                        Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :

Batubara dapat terbentuk setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :
  1. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
  2. Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
  3. Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter)  :
§  Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan dasar rawa.
§  Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro organisme dalam lingkungan bebas oksigen).
  1. Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter) :
§  Proses-proses geotektonik
§  Terjadi fase geokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh proses-proses alam yang terjadi di dalam bumi.



                        Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara :

Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut sebagai tahap geokimia (Gambar 4.)



Tahap Diagenesa
 


Gambar 4.  Tahapan pembentukan batubara

                                    Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)

Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air  sangat minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.

Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai tanaman menjadi gel.

Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).

                                    Fase Metamorfosa (Geokimia)

Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan tetapi yang berperan adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,  ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter, mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik, ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin tinggi.

Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.

2.2.3.  Tipe Pengendapan Batubara

Ditinjau dari mekanisme atau tipe pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara maupun pengendapan batubara, dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ atau autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.

Batubara jenis in-situ atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari sedimentasi gambut dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar berasal dari rawa gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut, yang kemudian oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara terbentuk (Gambar 5).

Batubara jenis drift atau allochthonous adalah lapisan batubara yang terbentuk dari hasil pelapukan, erosi, transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan batubara yang sudah terbentuk sebelumnya. Suatu seam batubara yang tersingkap (exposed) kemungkinan dapat lapuk (pecah-pecah/hancur) yang memungkinkan tererosi dan tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali batubara ini dapat menghasilkan lapisan batubara yang baru (Gambar 5).



Gambar 5.  Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe drift

2.3. Model-Model Endapan/Lapisan (Seam) Batubara

Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling dengan batuan sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan batubara ini (biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .

Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya (stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).

2.3.1.   Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)

Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi (patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau berselangseling) dan terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.

2.3.1.1.  Lapisan atau Seam Batubara yang Tebal

Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus. Apabila kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan terbentuk seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai keseimbangan biotektonik.

2.3.1.2.  Lapisan atau Seam Batubara yang Tipis

Lapisan (seam) batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut, rawa terus mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.

Perubahan ekosistem dan iklim yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering) diperkirakan juga menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.

2.3.1.3.  Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain

Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti yang sering dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan lempung atau pasir pada suatu seam batubara.
Pembentukan lapisan gambut pada suatu rawa gambut (moor), dapat tererosi dan terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada peristiwa meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-bentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir (Gambar 6).


Gambar 6 .  Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada suatu seam batubara.
2.3.1.4.  Batubara yang Berlapis-Lapis atau Terkadang dengan Batugamping

Batubara yang berlapis-lapis, diperkirakan terjadi karena terputusnya proses penggambutan akibat beberapa hal, seperti penurunan dasar rawa yang terlalu cepat, sehingga dapat mengubah ekosistem rawa secara ekstrim.

Penurunan dasar rawa yang lebih cepat dari wilayah sekitarnya, mengakibatkan daerah tersebut lebih rendah, sehingga air dan sedimen-sedimen asing cenderung masuk ke daerah ini, membawa lempung dan pasir. Masuknya aliran air dan sedimen asing akan mempengaruhi ekosistem dan biokimia rawa, menyebabkan mikroorganisme pembentuk humin (gel dan gambut) mati.

Penurunan dasar rawa dekat pantai yang terlalu cepat dapat menyebabkan air laut masuk ke rawa (transgression), menyebabkan ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem laut. Perubahan ekosistem ini dapat menghasilkan terbentuknya lapisan-lapisan batu gamping diantara lapisan-lapisan batubara. Apabila ekosistem ini berubah kembali ke ekosistem rawa karena terjadinya kemunduran laut (regression), proses penggambutan dapat terjadi lagi, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan lapisan batubara lagi, berselang-seling dengan lapisan batugamping dan sedimen lain.

2.3.1.5.  Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila ditempat dimana proses penggambutan terjadi, terdapat suatu kulminasi (puncak/punggungan di dasar rawa), sehingga lapisan batubara yang terbentuk seperti terpotong oleh semacam “intrusi” (Gambar  7).


Gambar 7.   Bentuk buried hill





2.3.2.   Model atau Pola Akibat Struktur Geologi (Structural  Pattern)

Model atau pola ini terjadi akibat struktur geologi yang berkembang selama proses penggambutan maupun pembatubaraan. Struktur geologi yang mempengaruhi antara lain adanya perlipatan (fold), patahan/pensesaran (fault), subsidence, dll.

2.3.2.1.      Bentuk Lapisan (Seam) Bercabang

Percabangan pada batubara dapat terjadi manakala pada saat proses penggambutan (dimana pada tahap ini lapisan yang terbentuk masih dianggap plastis), terjadi penurunan dasar rawa setempat-setempat (tidak merata secara luas). Akibatnya ada sebagian lapisan gambut yang tertarik melengkung ke bawah (Gambar 8).


Gambar 8.  Tahapan terjadinya percabangan pada lapisan batubara

Perbedaan penurunan dasar rawa (lebih cepat daripada di tempat lain) ini mengakibatkan daerah yang lebih rendah akan terisi oleh aliran air baru yang membawa sedimen asing (pasir atau lempung), sehingga proses penggambutan di cekungan ini terhenti. Apabila kedudukan dasar rawa yang terisi sedimen asing ini sudah seimbang dengan dasar rawa di sekitarnya, ekosistem rawa dapat terbentuk lagi, sehingga memungkinkan proses-proses penggambutan dapat terjadi lagi.

2.3.2.2.      Bentuk Clay Vein (Urat Lempung)

Bentuk ini terjadi apabila diantara dua bagian deposit batubara terdapat urat lempung. Bentuk ini terjadi apabila dalam proses penggambutan atau  pembatubaraan mengalami patahan (jenis patahan geser/mendatar, atau patahan normal), kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung atau pasir (Gambar 9).


Gambar 9.  Model clay vein pada lapisan batubara

2.3.2.3.      Bentuk Fault (Patah)

Bentuk ini terjadi dari lapisan batubara yang mengalami beberapa tahap patahan. Patahan umumnya terjadi setelah lapisan batubara terbentuk, dengan bidang patahan relatif tidak terbuka, sehingga tidak memunculkan urat lempung (Gambar 10)

2.3.2.4.      Bentuk Fold  (Melipat)

Bentuk melipat terjadi bilamana lapisan batuan mengalami perlipatan akibat gaya-gaya yang bekerja (Gambar 11)

2.3.2.5.      Bentuk Horse Back (Punggung Kuda)

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung ke arah akibat gaya kompresi. Ketebalan kea rah lateral lapisan batubara kemungkinana sama atau lebih kecil atau menipis (Gambar 12).

2.3.2.6.      Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misal batu lempung, sedang di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batu pasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur (Gambar 13).


Gambar 10.   Salah satu bentuk endapan batubara yang terjadi karena adanya patahan


Gambar 11.   Bentuk endapan batubara yang terjadi karena perlipatan



Gambar 12  Endapan batubara bentuk horse back

1 komentar: